Tanah Datat – Sebanyak 500 orang kaum Suku Koto Ateh secara resmi mencabut gelar Datuak Bangso Kayo yang selama ini disandang oleh Dedi Akardian. Pencabutan ini dilakukan karena gelar tersebut disebut bukan gelar sako milik kaum Suku Koto Ateh, sebagaimana dijelaskan oleh Us Katik Bangso, salah seorang ninik mamak yang mewakili kaum tersebut.
“Gelar itu bukan milik mereka. Berdasarkan ranji dan tambo, Datuak Bangso Kayo berasal dari garis keturunan Suku Koto Ateh di Sigarungguang, bukan yang lain,” ujar Us Katik Bangso.
Ranji 1901 Jadi Bukti Sejarah
Dasar keputusan ini merujuk pada ranji tertanggal 8 Februari 1901, yang kini disimpan oleh Dt. Paduko Maradjo Lelo, Ketua KAN Gurun. Ranji tersebut mencatat secara rinci asal-usul Bodojali Dt. Bangso Kayo, anak dari Puti Doyen Dunsanak Elok jo Ambun, yang berpindah ke Sigarungguang.
Dalam ranji itu tercatat 50 daftar susunan gala mudo, serta kepemilikan sawah, ladang, kapalo banda Ambacang, dan pandam pakuburan yang menjadi hak kaum Suku Koto Ateh.
Sejarah Panjang: Peminjaman Gelar Sejak 1933
Tercatat, pada tahun 1933, seorang jaksa bernama Abdul Hamid meminjam gala Datuak Bangso Kayo hingga meninggal dunia pada tahun 1958. Upacara batagak gala saat itu dilakukan di rumah Paduko Intan, dengan disaksikan oleh para panghulu seperti Dt. Rajo Nan Tinggi, Dt. Indo Marajo, Dt. Paduko Reno, dan lastrong. Namun, sejak saat itu, muncul berbagai peristiwa tragis dan misterius, termasuk hilangnya Nuraini Pitopang, istri Abdul Hamid, yang menurut cerita “dilarikan oleh ninik bunian”.
Selama masa peminjaman itu, kaum Suku Koto Ateh disebut mengalami tekanan dan penderitaan. Beberapa tokoh adat seperti Mak Nurdin, Mak Muluk, dan Orin Marajo Sutan bahkan disebut menolak keras upaya pengukuhan ulang gala pada tahun 1966, karena dianggap menyalahi ranji dan tambo adat.
Konflik Berlanjut Hingga Era Modern
Masalah pewarisan gelar ini berlanjut hingga generasi berikutnya. Pada tahun 2011, Febby Dt. Bangso sempat ditunjuk kaum untuk menegakkan kembali gala Dt. Bangso Kayo sesuai ranji asli, dengan kesepakatan biaya perbaikan rumah gadang sebesar Rp150 juta. Namun menjelang pelaksanaan, muncul nama Firman Dt. Marah Bangso, yang disebut “memasukkan” nama Dedi Akardian ke dalam daftar pengukuhan secara diam-diam di balerong.
“Tindakan ini kami anggap tidak amanah dan menyalahi kesepakatan. Uang yang seharusnya untuk perbaikan rumah gadang justru dipakai untuk keperluan pribadi,” ujar Febby Dt. Bangso.
Ia juga menegaskan bahwa berdasarkan ranji, keluarga pewaris asli tidak kekurangan tanah dan pusaka, sementara pihak yang kini mengaku pemegang gala justru disebut tidak memiliki hubungan darah langsung dengan garis Sigarungguang.
Pembodohan Sejarah Selama 90 Tahun
Febby Dt. Bangso menilai, polemik yang berlangsung sejak 1933 hingga 2023 merupakan “pembodohan sejarah” terhadap anak cucu kaum Suku Koto Ateh.
“Selama 90 tahun ranji ini disembunyikan. Tapi kebenaran tidak bisa ditutupi selamanya. Yang hak tetaplah hak, dan yang bukan miliknya akan terbuka pada waktunya,” tegasnya.
Dengan pencabutan resmi oleh kaum, gelar Datuak Bangso Kayo kini dinyatakan kembali ke pangkuan kaum asal di Koto Sigarungguang, sebagai bagian dari upaya mengembalikan marwah dan kebenaran sejarah adat Minangkabau. (***)







