Oleh: Dr. Febby Dt. Bangso Sst.Par M.Par QRGP , CFA
Ketua KAN Gurun Luhak Nan tuo , Kab.Tanah Datar
Pariwisata hari ini bukan lagi sekadar soal promosi dan tamasya. Ia telah menjadi arena baru dalam perebutan pengaruh global—masuk ke ruang geopolitik tanpa perlu mengerahkan kapal perang atau senjata. Ia datang dengan senyuman, namun menyimpan taring yang menggigit dalam.
Ketika pemerintah pusat menjadikan sektor pariwisata sebagai “lokomotif pembangunan”, pertanyaan yang seharusnya muncul adalah: pembangunan siapa dan untuk siapa?
Bali telah lama dijadikan etalase pariwisata internasional, tetapi siapa sesungguhnya yang mengendalikan lalu lintas ekonomi dan penguasaan tanahnya? Di Labuan Bajo, wajah cantik Indonesia Timur dipoles untuk wisata, sementara masyarakat lokal justru semakin sempit ruang hidupnya.
Kini, pola serupa mulai bergerak ke Sumatera Barat. Festival-festival megah bermunculan, destinasi direka ulang, dan narasi “branding” disusun dengan bahasa-bahasa modern. Namun benarkah ini lahir dari ruh nagari—atau sekadar meniru strategi yang disiapkan dari ruang-ruang perencana pusat yang tak mengenal tapak sejarah Minangkabau?
Jika budaya hanya jadi kemasan hiburan, maka yang tersisa hanyalah brosur tanpa jati diri.
Narasi adalah Kuasa
Dalam dunia geopolitik modern, siapa yang mengendalikan narasi, dialah penguasa wilayah. Narasi itu tidak hadir dalam bentuk pasukan, tetapi dalam brosur wisata, peta destinasi, dan tagline kampanye seperti “The New Bali”, “The Heart of Indonesia”, atau “Wonderland of XYZ”. Kalimat-kalimat itu bukan iseng, melainkan strategi.
Maka perlu ada suara yang mengingatkan: pariwisata bukan hanya soal keramaian, melainkan soal kendali. Di Sumatera Barat, dalam.pamdamgan saya . Saya tidak melihat adat dan budaya sebagai simbol eksotis semata, melainkan sebagai sistem pengetahuan dan pertahanan.
Nagari, menurutnya, bukan sekadar wilayah administratif, tapi unit geopolitik dengan struktur sosial dan budaya yang kokoh. Ia percaya bahwa pariwisata sejati harus lahir dari akar, bukan dibentuk oleh agenda musiman yang datang dari luar.
Tanah Dijual, Budaya Diperagakan
Realitas hari ini menyedihkan: banyak daerah secara perlahan menjual tanah, menjual adat, dan menjual narasi mereka sendiri—demi keuntungan ekonomi jangka pendek. Yang lebih menyakitkan, semua itu dijual dengan harga yang murah.
Tanah ulayat diubah fungsi dengan dalih investasi. Adat dijadikan kostum atraksi, bukan lagi sumber nilai hidup dan moral kolektif. Ketika pariwisata didekati hanya dari kacamata pasar, maka kedaulatan pun ikut menguap.
Dan celakanya, kita baru akan menyadarinya ketika semua telah berubah menjadi brosur berdebu di meja hotel-hotel yang asing.
Membangun dari Nagari, Bukan Meniru Pusat
Sumatera Barat memiliki semua modal: budaya yang kuat, lanskap alam yang luar biasa, serta masyarakat dengan kesadaran sejarah dan politik. Yang dibutuhkan hanyalah kemauan untuk membangun dari dalam—dari nagari, dari akar, dari jati diri.
Inilah yang saya sampaikan dibamyak kesempatan : membangun sistem ekonomi berbasis lokalitas, menjadikan pemuda sebagai penggerak perubahan, dan menempatkan budaya bukan sebagai tempelan eksotis, melainkan poros pembangunan. Dalam kerangka geopolitik, itu bukan sekadar strategi bertahan—tapi bisa menjadi kekuatan menyerang, melalui narasi, bukan senjata.
Wisata Bisa Datang, Tapi Kedaulatan Jangan Hilang
Jika hari ini kita hanya mengejar jumlah wisatawan, tanpa menjaga akar budaya dan ruang hidup masyarakat, maka yang kita bangun bukan peradaban, tapi istana pasir—rapuh, dan mudah runtuh.
Geopolitik bukan tentang siapa yang paling kuat, tapi siapa yang paling sadar. Dan jika anak nagari sadar bahwa setiap bukit, sungai, dan adat adalah pos strategis, maka tidak ada kekuatan luar yang mampu membelinya—dengan alasan apa pun.
Pariwisata boleh tumbuh, tapi jangan sampai kedaulatan ikut dijual.