DomaiNesia
Opini  

Alat Kekuasaan dan Dampaknya pada Masyarakat

Foto : Hisam (doc)
www.domainesia.com

Oleh : Hisyam
Mahasiswa Magister Ilkom Unand

Dalam lanskap informasi modern, media massa telah mengalami metamorfosis yang luar biasa. Dari sekadar saluran penyebaran berita, media massa kini telah bertransformasi menjadi entitas yang memiliki kekuatan untuk membentuk realitas sosial. Namun, di balik kemajuan teknologi dan ekspansi jangkauan yang mengesankan ini, terdapat narasi yang lebih kompleks dan berpotensi mengkhawatirkan: penguasaan media oleh segelintir elit yang memanfaatkannya demi kepentingan pribadi mereka.

Salah satu tren yang paling menonjol dalam perkembangan industri media adalah semakin terkonsentrasinya kepemilikan di tangan segelintir konglomerat. Fenomena ini tidak hanya terjadi di negara berkembang, tetapi juga di negara-negara maju. Di Amerika Serikat, misalnya, enam perusahaan raksasa menguasai sekitar 90% pasar media. Situasi serupa juga terjadi di berbagai negara lain, di mana grup-grup besar media mengendalikan sebagian besar saluran informasi publik.

Konsentrasi kepemilikan ini membawa konsekuensi serius. Diversity of voice (Keberagaman Suara/Pandangan), yang seharusnya menjadi esensi dari lanskap media yang sehat, perlahan-lahan terkikis. Ketika sebagian besar media dikendalikan oleh segelintir pemilik dengan agenda tertentu, narasi yang disajikan ke publik cenderung menjadi homogen dan seringkali bias.

Dengan kekuatan finansial dan jaringan yang luas, para pemilik media memiliki kemampuan untuk membentuk narasi publik sesuai dengan agenda mereka. Berita, tayangan hiburan, bahkan iklan, semuanya dapat diorkestrasikan untuk menciptakan citra tertentu atau mengarahkan opini publik. Ini adalah bentuk dramaturgi modern, di mana realitas dikonstruksi dan dipresentasikan sedemikian rupa untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Contoh klasik dari fenomena ini adalah bagaimana media massa sering kali digunakan untuk membangun citra positif politisi atau korporasi tertentu. Liputan yang berlebihan tentang “keberhasilan” suatu kebijakan, atau pemberitaan yang konsisten mengabaikan isu-isu kontroversial terkait suatu perusahaan, adalah manifestasi dari kekuatan media dalam membentuk persepsi publik.

Era digital membawa tantangan baru dalam bentuk penyebaran informasi yang sangat cepat. Sayangnya, kecepatan ini sering kali tidak diimbangi dengan akurasi. Berita palsu, setengah kebenaran, dan propaganda dapat menyebar dengan mudah, menciptakan lanskap informasi yang membingungkan. Dalam situasi ini, media massa yang seharusnya menjadi pilar kebenaran, terkadang justru ikut terjerumus dalam pusaran post-truth (kondisi di mana emosi dan kepercayaan pribadi lebih diutamakan daripada fakta objektif dalam membentuk opini publik) demi mengejar klik dan rating.

Fenomena echo chamber (situasi dimana orang meyakini apa yang sejalan dengan pendapatnya) di media sosial, di mana algoritma mengarahkan pengguna untuk terus menerima informasi yang sesuai dengan preferensi mereka, semakin memperparah situasi ini. Akibatnya, masyarakat terpolarisasi dan semakin sulit untuk mencapai konsensus atas isu-isu penting.

Salah satu dampak paling signifikan dari penguasaan media oleh kepentingan komersial adalah terbentuknya masyarakat yang konsumtif. Media massa, melalui iklan dan gaya hidup yang ditampilkan, secara halus namun konsisten mendorong pola konsumsi yang berlebihan. Tayangan-tayangan reality show (tayangan program tentang kehidupan nyata) yang menampilkan kemewahan, atau iklan-iklan yang mengaitkan produk dengan status sosial, adalah contoh nyata bagaimana media membentuk pola pikir konsumtif.

Akibatnya, masyarakat perlahan-lahan kehilangan daya kritisnya dan berubah menjadi ‘masyarakat massa’ yang homogen dalam pola pikir dan perilaku konsumsinya. Fenomena Black Friday atau Singles Day (Diskon Besar”an) di mana orang berbondong-bondong membeli barang-barang yang sebenarnya tidak terlalu mereka butuhkan, adalah manifestasi dari bagaimana media massa telah berhasil menciptakan budaya konsumerisme yang berlebihan.

Dominasi media massa oleh kepentingan komersial juga berdampak pada erosi nilai-nilai kultural. Konten-konten yang disajikan cenderung mengedepankan sensasionalisme dan hiburan instan daripada substansi yang mendalam. Program-program realitas yang menampilkan konflik pribadi demi rating, atau berita-berita yang lebih mementingkan sensasi daripada analisis mendalam, adalah contoh bagaimana media massa dapat mengikis nilai-nilai sosial dan kultural yang penting.

Akibatnya, wacana publik menjadi dangkal, dan masyarakat semakin jauh dari pemahaman kritis terhadap isu-isu sosial yang kompleks. Diskusi-diskusi penting tentang kebijakan publik, misalnya, seringkali tereduksi menjadi potongan-potongan singkat yang tidak substansial.

Menghadapi realitas ini, diperlukan langkah-langkah konkret untuk mengembalikan fungsi ideal media massa:

1. Regulasi yang lebih ketat terhadap kepemilikan media untuk mencegah monopoli informasi. Ini bisa termasuk pembatasan jumlah media yang dapat dimiliki oleh satu entitas, atau aturan yang mewajibkan transparansi kepemilikan.

2. Penguatan lembaga-lembaga watchdog yang mengawasi kinerja media. Lembaga-lembaga independen yang bertugas memantau objektivitas dan akurasi pemberitaan perlu didukung dan diberi kewenangan yang memadai.

3. Pendidikan literasi media yang komprehensif bagi masyarakat luas. Ini harus dimulai sejak usia dini, mengajarkan bagaimana cara menganalisis dan memverifikasi informasi yang diterima.

4. Dukungan terhadap media-media independen dan jurnalisme investigatif. Pemerintah dan masyarakat sipil perlu memberikan dukungan, baik finansial maupun non-finansial, kepada media-media yang mengedepankan jurnalisme berkualitas.

5. Peningkatan transparansi dalam hal kepemilikan media dan afiliasi politiknya. Publik berhak tahu siapa yang berada di balik informasi yang mereka konsumsi.

6. Mendorong partisipasi publik dalam produksi konten media. Citizen journalism dan platform-platform yang memungkinkan masyarakat untuk berbagi perspektif mereka perlu didukung, sembari tetap menjaga standar jurnalistik yang tinggi.

Pada akhirnya, masyarakat sendiri yang harus menjadi garda terdepan dalam menghadapi manipulasi media. Dengan meningkatkan daya kritis dan selektif dalam mengkonsumsi informasi, kita dapat memulai perubahan menuju ekosistem media yang lebih sehat dan bertanggung jawab.

Transformasi media massa dari pilar demokrasi menjadi alat kekuasaan bukanlah proses yang tak terelakkan. Dengan kesadaran kolektif dan tindakan nyata dari berbagai pemangku kepentingan, kita masih memiliki kesempatan untuk mengembalikan media massa ke fungsi idealnya: sebagai sumber informasi yang objektif, forum diskusi publik yang sehat, dan pengawas kekuasaan yang kritis. Hanya dengan demikian, media massa dapat kembali menjadi kekuatan positif dalam membangun masyarakat yang kritis, informasi, dan demokratis. (**)