Padang — Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Republik Indonesia menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Evaluasi Tata Kelola Organisasi dan Sumber Daya Pengawas Pemilu” di Universitas Andalas, Padang, Selasa (7/10/2025).
Kegiatan ini menjadi ruang reflektif bagi Bawaslu RI untuk memperkuat arah kebijakan kelembagaan pengawas pemilu agar semakin adaptif terhadap perkembangan konstitusi dan teknologi politik masa kini.
Anggota Bawaslu RI Herwyn J.H. Malonda dalam sambutannya menyampaikan apresiasi kepada Universitas Andalas atas kemitraan dalam pelaksanaan kegiatan tersebut.
“Kami menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada Universitas Andalas. Melalui forum reflektif seperti ini, kita memperkuat arah kebijakan kelembagaan pengawas pemilu agar semakin adaptif, berintegritas, dan relevan dengan dinamika konstitusi serta teknologi politik masa kini,” ujar Herwyn.
Herwyn menegaskan bahwa Bawaslu bukan hanya lembaga pengawas, tetapi juga penjaga kualitas demokrasi. Mengutip pemikiran Robert A. Dahl, ia menyebut bahwa demokrasi sejati tidak berhenti pada proses pemungutan suara, melainkan pada kontrol warga terhadap pengambilan keputusan politik.
Menurutnya, tata kelola organisasi pengawas pemilu harus menjamin:
1. Integritas dan profesionalitas SDM pengawas,
2. Kejelasan mekanisme kerja kelembagaan, dan
3. Efektivitas sistem pencegahan serta penanganan pelanggaran pemilu.
“Semakin kuat tata kelola, semakin besar kepercayaan publik terhadap hasil pemilu. Dan kepercayaan publik adalah modal utama bagi demokrasi yang hidup,” tegas Herwyn.
FGD ini juga membahas implikasi dua putusan penting Mahkamah Konstitusi, yakni Putusan MK No. 135/PUU-XXI/2023 dan Putusan MK No. 104/PUU-XX/2022, yang menjadi tonggak baru dalam sistem kepemiluan dan pengawasan di Indonesia.
Putusan MK No. 135/PUU-XXI/2023 menegaskan pembedaan antara Pemilu Nasional (Presiden, DPR, DPD) dan Pemilu Lokal (Gubernur, Bupati, Wali Kota). Implikasinya, Bawaslu perlu menyesuaikan tata kelola kelembagaannya agar mampu mengawasi dua model pemilu dengan karakteristik dan sistem politik yang berbeda — nasional yang strategis dan lokal yang kultural.
Sementara itu, Putusan MK No. 104/PUU-XX/2022 memperkuat kedudukan hukum putusan adjudikasi pelanggaran Pilkada oleh Bawaslu. Putusan ini menegaskan bahwa keputusan Bawaslu bersifat final dan mengikat dalam penyelesaian pelanggaran administratif Pilkada, menegaskan fungsi quasi-judicial lembaga tersebut.
“Kedua putusan MK ini mempertegas arah transformasi kelembagaan Bawaslu menuju lembaga keadilan pemilu yang kokoh secara konstitusional dan cerdas secara digital,” jelas Herwyn.
FGD ini menghadirkan pakar hukum tata negara, ahli kebijakan publik, serta akademisi dan praktisi kepemiluan. Kolaborasi lintas sektor ini diharapkan menghasilkan rekomendasi strategis bagi penguatan tata kelola organisasi dan pengembangan sumber daya pengawas pemilu di seluruh Indonesia.
Kegiatan tersebut menjadi wujud komitmen Bawaslu RI dalam membangun sistem pengawasan pemilu yang transparan, profesional, dan berintegritas, demi menjaga kualitas demokrasi Indonesia yang konstitusional dan partisipatif. (***)








