Oleh: Febby Dt Bangso
Di Minangkabau, membangun nagari bukan semata soal proyek, anggaran, atau pembangunan fisik. Ia adalah proses merawat nilai-nilai, menyambung silsilah sosial, dan memperkuat jalinan adat yang hidup dalam tatanan salingka nagari. Oleh karena itu, pembangunan tidak bisa diseragamkan. Setiap nagari memiliki akar, cara pandang, dan bentuk tatanan adat yang khas.
Sebagaimana ditegaskan oleh budayawan Minangkabau, Gusti Asnan (2020), “Nagari itu bukan sekadar wilayah administratif, tapi sistem sosial budaya yang hidup dengan adatnya. Kalau dipaksa satu model, ia bisa mati pelan-pelan.” Ucapan ini mengingatkan kita bahwa penghormatan terhadap keberagaman lokal adalah fondasi penting dalam membangun nagari secara berkelanjutan.
Adat Salingka Nagari—sistem nilai dan tata laku sosial di Minangkabau—sejak dahulu telah menjamin otonomi dan fleksibilitas dalam pengambilan keputusan lokal. Dalam sistem ini, musyawarah mufakat, aleg nagari, dan pakarasa menjadi fondasi etis yang mengatur kehidupan bersama. Seperti ditulis oleh Taufik Abdullah (1971) dalam Adat dan Islam di Minangkabau, kekuatan masyarakat Minang justru terletak pada kemampuannya merespons perubahan tanpa kehilangan jati dirinya, karena “adat tidak berada dalam teks beku, tetapi dalam praktik sosial yang hidup”.
Namun kini, pembangunan nagari kerap didorong dengan pendekatan seragam: semua nagari harus membuat RPJMDesa, renstra, hingga indikator keberhasilan yang sama. Padahal, bagaimana mungkin nagari yang berbeda akar sosial, sejarah, dan kepemimpinan adatnya bisa disamakan dalam satu kerangka kerja?
Di sinilah pentingnya memahami peran perantau dalam konteks yang lebih dalam. Banyak suara yang mempertanyakan mengapa perantau tidak selalu aktif dalam pembangunan kampung. Namun pertanyaan ini kadang lahir dari cara pandang yang sempit: menganggap kontribusi harus seragam, berbentuk materi, atau pulang kampung secara rutin. Padahal dalam struktur sosial Minangkabau, tanggung jawab perantau bersifat kultural dan komunal, bukan administratif.
Febby Dt. Bangso, Ketua KAN Nagari Gurun (2025–2030)
“Perantau itu tidak harus datang membangun jembatan untuk disebut berbuat. Kalau ia bisa menjaga rumah gadangnya dari pecah, membantu kemenakan sekolah, atau jadi rujukan damai dalam keluarga saparuik—itu sudah bagian dari ketahanan nagari.”
Prinsip ini selaras dengan nilai saro jo basandi, di mana ukuran kontribusi bukanlah rupa, tapi dampaknya terhadap keseimbangan sosial. Perantau bisa saja aktif membentuk forum saruak di perantauan, melestarikan bahasa Minang untuk anak-anak diaspora, atau menjadi simpul jaringan informasi dan pendidikan bagi nagari asalnya. Semua itu adalah kontribusi konkret—meski tak selalu terlihat dalam data APBDes.
Oleh karena itu, pembangunan nagari yang berakar kuat tidak memerlukan seragam, tapi memerlukan arah yang sesuai dengan pangkal yang elok. Pangkal ini bukan hanya tempat berangkat, tapi niat dan nilai yang menopang setiap langkah: adat yang dipakai, orang kampung yang dijaga, dan hubungan kekerabatan yang dirawat.
Seperti ungkapan dalam tambo adat:
“Indak ado nagari nan tumbuah, kalau pangka ka langang. Jagoan kampuangnyo barek, barulah nagari indak galanggang ka luko dek angin.”
Penutup: Membangun dari Akar, Bukan Cetakan
Ke depan, pembangunan nagari harus dimulai dari pengakuan atas keberagaman lokal dan penguatan sistem sosial berbasis adat salingka nagari. Perlu ruang legal dan politik yang membolehkan nagari tumbuh dengan cara dan nilai sendiri, termasuk dalam hal pelibatan perantau.
Tidak perlu seragam untuk bisa berbuat. Perantau cukup menjaga apa yang diwariskan: rumah gadang, saparuik, dan pakarasa. Selama itu hidup, nagari akan tetap kuat—meski diterpa angin zaman.
Daftar Pustaka Singkat
Abdullah, Taufik. Adat dan Islam di Minangkabau. Jakarta: LP3ES, 1971.
Asnan, Gusti. Negeri-Negeri Beradat: Dinamika Politik Lokal Minangkabau. Padang: UNP Press, 2020.
Suryadi. Tradisi dan Modernitas dalam Budaya Minangkabau. Leiden: KITLV Press, 2018.